Persoalan minyak kelapa sawit
Kenyataannya perkebunan yang ada sudah bisa memenuhi permintaan. Kalau saja perkebunan-perkebunan tersebut dikelola dengan praktik-praktik pertanian yang baik (perbaikan kualitas tanah melalui penanaman kacang-kacangan, pendaurulangan sampah, penggunaan pestisida yang tepat sasaran, pengelolaan air yang lebih baik, dll), maka peningkatan panen dan budi daya jangka panjang di areal yang ada menjadi mungkin dilakukan.
Oleh karena itu organisasi lingkungan dan hak asasi manusia WALHI menuntut peningkatan hasil panen di area perkebunan yang sudah ada untuk menghindari pembukaan lahan baru.
Dalam praktik pertanian yang buruk seperti sekarang, usia perkebunan diharapkan mencapai 25 tahun; tidak jelas bagaimana kondisi tanah setelah itu. Perkebunan besar monokultur kelapa sawit membawa begitu banyak ragam persoalan yang serius.
Latar Belakang Ekonomi
Bukan hanya ekspor minyak sawit yang mengeruk laba yang besar. Kayu-kayu yang diperoleh dari hasil penebangan hutan primer dalam pembukaan lahan baru juga memberi keuntungan ekstra atau memberi modal untuk membiayai perkebunan. Tidak jelas apakah ini merupakan praktik yang sering terjadi atau hanya kadang-kadang. Tapi seperti yang telah dijelaskan di atas, fakta bahwa strategi perluasan lebih murah daripada pelaksanaan praktik yang baik pada lahan yang sudah ada, maka banyak hutan ditebang untuk produksi minyak sawit lebih daripada yang sebenarnya dibutuhkan.
Terlebih lagi, alokasi konsesi-konsesi acap kali sarat korupsi dan penggunaannya di masa depan seringkali tidak sesuai antara yang tertulis dengan kenyataan. Hal ini memfasilitasi terjadinya perampasan tanah.
Bagian terbesar dari modal yang diinvestasikan ke produksi minyak sawit berasal dari Asia. Namun demikian permintaan atas minyak sawit datang dari seluruh dunia.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa seruan boikot konsumsi tidak begitu bermanfaat, karena saat ini seluruh pasar tanaman serbaguna (Flex Crops), salah satunya adalah minyak sawit, dikontrol secara global dan berjalan relatif mandiri dari permintaan konsumsi perorangan.
Maka mungkin akan lebih efektif untuk melawan ekspansi minyak sawit dalam bentuk bahan bakar hayati ("biofuels") yang sudah menuai banyak kritik itu.
* “Munculnya 'flex crops' atau tanaman serbaguna juga berdampak besar. Flex crops adalah tanaman dengan banyak kegunaan (pangan, pakan, bahan bakar, bahan industri) yang dapat saling dipertukarkan dengan mudah dan fleksibel: kedelai (pakan, pangan, biodiesel), tebu (pangan, ethanol), minyak sawit (pangan, biodiesel, penggunaan komersial/industri), jagung (pangan, pakan, ethanol). Oleh karena itu, dalam satu sektor tanaman kita mendapatkan banyak konteks yang mendorong terjadinya perampasan tanah: pangan, pakan, energi/bahan bakar dan strategi mitigasi perubahan iklim. Ini semua berlangsung dalam rantai nilai komoditas yang semakin saling terkait secara global dan menyulitkan untuk menyederhanakan dinamika yang majemuk ini menjadi satu saja pencetus perampasan tanah.”